BATAK DO MULANA
BATAK
SEJARAH DAN LEGENDA.
Batak
(jaman dahulu kala) mempercayai adanya penciptaan langit, bumi dan
segala isinya. Pencipta tersebut adalah Debata Mulajadi Nabolon.
Penciptaannya tak beda jauh dengan penciptaan seperti yang sering kit
abaca dalam Alkitab ( Kejadian ).
Tetapi khusus untuk penciptaan
manusia, sangatlah jauh berbeda. Menurut legenda Batak, manusia bermula
setelah perkawinan antara si Borudeakparujar (salah satu dari 6 anak
perempuan Bataraguru ) dengan Raja Odapodap, mereka dijodohkan oleh
Debata Mulajadi Nabolon sewaktu mereka masih berdiam di Banua
Ginjang/Surga (langit papituhon ). Karena itulah dahulu ada “umpama
Batak “ :
Timus gabe ombun, ombun jumadi udan, mula ni tano dohot jolma ima sian si Borudeakparujar.
Dalam kepercayaan Batak, langit terdiri dari 7 lapis yaitu :
1.
Langit Pertama, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya
selalu melakukan hal-hal yang terbalik dari aturan ( suhar pambaenan )
2. Langit Kedua, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya selalu mencuri, merampok.
3.
Langit Ketiga, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya
selalu panjang lidah, suka membicarakan orang lain ( siganjang dila ).
4.
Langit Keempat, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya
memfitnah, lintah darat. Di sini juga tempat hukuman roh orang yang
bunuh diri.
5. Langit Kelima, adalah tempat roh orang yang semasa hidupnya suka menolong orang yang tidak punya ( dermawan ).
6. Langit Keenam, adalah tempat pertimbangn/ putusan Bataraguru terhadap manusia
yang akan lahir.
Menurut leluhur Batak, manusia yang mau lahir ke dunia akan meminta
dan bertanya lebih dahulu kepada Bataraguru bagaimana hidupnya nanti
setelah lahir.
( Dolok Martimbang hatubuan ni horahora, Debata na di ginjang suhat-suhat ni hita jolma ).
7. Langit Ketujuh, adalah tempat roh orang yang semasa hidupnya baik, suci/percaya, tempat Mulajadi Nabolon, dan inilah surga.
Setelah perkawinan si Borudeakparujar dengan Raja Odapodap, lahirlah anaknya
kembar dampit ( marporhas ). Laki-laki dinamai
RAJA IHAT MANISIA dan yang perempuan dinamai
BORU ITAMMANISIA. Mereka bertempat tinggal di
SIANJURMULAMULA.
Pada
saat penghuni langit ( Banua Ginjang ) dating mengunjungi mereka, Si
Borudeakparujar dan Raja Odapodap ikut naik ke langit (Banua Ginjang ),
tetapi Debata Asiasi dan si Boru Naraja Inggotpaung tinggal bersama
Raja Ihatmanisia dan si Boru Itammanisia di Sianjurmulamula.
Setelah besar, Raja Ihatmanisia kawin, tetapi tidak jelas siapa dan darimana istrinya, apakah
kembarannya atau
anaknya si Boru Naraja Inggotpaung, jang jelas mereka mempunyai anak 3
orang yaitu : Raja Miokmiok, Patundalnabegu dan Ajilampaslampas.
Karena
perebutan harta dan selisih paham, ketiga bersaudara itu bertengkar,
akhirnya si Patundalnabegu dan Ajilampaslampas meninggalkan
Sianjurmulamula, tidak diketahui kemana perginya.
Inilah permulaan Sejarah Batak yang merupakan keturunan dari Raja Ihatmanisia.
Kalau
Raja Ihatmanisia sebagai manusia pertama dalam sejarah dan legenda
Batak, lantas bahagimana hubungannya dengan si RAJA BATAK?
Menurut Legenda (mungkin juga Sejarah ) antara
RAJA IHATMANISIA dengan si
RAJA BATAK
terdapat 5 generasi. Jelasnya anak Raja Ihatmanisia seperti diterangkan
pada bagian Pertama ada 3 orang, yaitu Raja Miokmiok, Patundal Nabegu
dan Ajilampaslampas (sebagian mengatakan Aji Lapaslapas). Setelah
perpisahan ketiga bersudara itu kawin (tidak diketahui dengan siapa )
dan mempunyai anak
ENGBANUA. Anak Engbanua ada 3 orang yaitu : Raja Ujung, Eng Domia (Raja Bonangbonang) dan Raja Jau.
Konon,
Raja Ujung adalah leluhur orang Aceh, Raja Jau adalah leluhur orang
Nias, sedangkan Eng Domia adalah leluhur orang Batak, artinya menurut
legenda ini maka orang ACEH adalah saudara tua (abang ) orang BATAK dan
orang NIAS adalah adik orang Batak, tetapi ada juga pendapat bahwa
leluhur orang Nias adalah RAJA ISUMBAON (anaknya si Raja Batak ).
Raja Bonangbonang mempunyai seorang anak yang dinamai
RAJA TANTANDEBATA. Dari perkawinan Raja Tantandebata lahirlah si
RAJA BATAK.
Si Raja Batak kawn dengan putri dari
SIAM,
sebagian mengatakan kawin dengan manusia jadi-jadian, tetapi kalau
kita berpijak pada sejarah ada benarnya bahwa istri si Raja Batak
berasal dari Siam (Benua Asia Kecil ). nak si Raja Batak ada 2 orang,
yaitu
GURU TATEABULAN dan
RAJA ISUMBAON. Guru Tateabulan sering juga disebut dengan
ILONTUNGAN alias si
MANGARATA, alias
TOGA DATU.
Semasa remaja, Guru Tateabulan mendapat warisan benda-benda pusaka pemberian “tulangnya” dari Siam yaitu berupa :
tombak siringis, batu martaha dan cincin yang cocok pada semua jari tangannya.
Guru Tateabulan kawin dengan
SIBASOBURNING,
yang menurut versi keturunan Borbor Marsada adalah anak gadis manusia
primitive yang sudah ada di daerah Sumatera, tetapi sebagian versi
mengatakan bahwa Sibasoburning adalah putri jadi-jadian (boru ni homang
), karena kemampuan kesaktiannya, Guru Tateabulan dapat mengajari
istrinya menjadi orang beradab. Dari perkawinannya mereka mempunyai 9
orang anak laki-laki dan perempuan. Mereka adalah :
Raja Biakbiak (Raja Miokmiok), Tuan Sariburaja (Ompu Tuan Rajadoli), Limbong Mulana, Sagala Raja dan Silau Raja, sedangkan putrinya adalah :
Siboruparema, Siboru Anting Sabungan dan Siboru Biding Laut, sedangkan seorang lagi yaitu
NANTINJO konon adalah
Waria (Banci ) pertama dalam Legenda dan Sejarah Batak.
Menurut cerita, Tuan Sariburaja dan Siborupareme lahir kembar dampit (marporhas).
Raja
Isumbaon adalah manusia misterius, tidak ada yang tau cerita dan
keberadaannya, tetapi kemudian disebutkan dari perkawinannya lahir 3
orang anaknya yaitu :
Tuan Sorimangaraja, Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang.
Dari cerita di atas jelas terlihat bahwa marga pertama dalam Silsilah/Tarobo orang Batak adalah marga
LIMBONG dan marga
SAGALA.
Pertanyaan
akan selalu muncul mengikuti logika, Raja Batak mempunyai 2 orang
anak, tidak disebutkan mempunyai anak perempuan, pertanyaan yang paling
lumrah adalah : Anak Perempuan siapa yang menjadi isteri mereka, kalau
memang manusia juga, berarti pada masa itu sudah ada manusia lain
selain keluarga si Raja Batak.
Seperti di sebutkan pada Episode
II, isteri Guru Tateabulan ada yang mengatakan dari kelompok orang
primitive yang sudah ada di sekitar Danau Toba, dan pendapat lain
mengatakan keturunan
makhluk jadi-jadian (boru ni homang ).
Pertanyaan
seperti itu juga muncul pada masa kekinian setelah orang Batak
mengenal agama monotheis ( Kristen dan Islam ), pada zaman penciptaan
manusia Adam dan Hawa (Eva) yang mempunyai anak Kain, Habel dan Set. (
baca Kejadian: 4 dan 5
), lantas siapa dan anak siapa istri Kain dan Set? Ok, hal itu tidak
perlu diperdebatkan karena sudah menyangkut masalah keimanan seseorang.
Guru
Tateabulan dan Raja Isumbaon setelah berkeluarga, meminta hak kepada
ayahandanya si Raja Batak, tetapi pada masa itu belum banyak harta
benda yang bisa diserahkan si Raja Batak kepada kedua anaknya, dan
memang juga bukan harta benda yang mereka minta, tetapi
“sangap” dan
“kesaktian”.
“Berikanlah kepada kami yang belum pernah kami lihat dan yang belum
pernah kami ketahui”, kira-kira demikianlah permintaan Guru Tateabulan
dan Raja Isumbaon. Si Raja Batak walaupun punya kseaktian, tetapi dia
tidak bisa memberikan apa yang diminta anaknya, karena itu dia meminta
kepada kedua anaknya agar bersabar dan sama-sama memohon (
martonggo ) kepada Mulajadi Nabolon Debata Natolu agar diberikan
“ shala tua sahala harajaon .“
Debata
Natolu Mulajadi Nabolon mengabulkan permintaan doa mereka, maka
dikirimkanlah 2 (dua) buah gulungan surat Batak. Pada gulungan pertama
tulisan arang (
tombaga agong ) yang menjadi bagian
Guru Tatea Bulan
berisi tentang ilmu: Perdukunan/Pengobatan, Kesaktian, Seni pahat ,
Kekuatan, juga ilmu beladiri (parmonsahon ) dan ilmu menghilang (
pangaliluon ).
Pada gulungan kedua surat
tombaga holing berisi tentang ilmu : Pemerintahan, hukum, bercocok tanam dan dagang.
(Tentang
Surat Batak ini sedikit ada kontraversi, apakah memang sudah ada pada
saat si Raja Batak atau beberapa generasi berikutnya, dan apakah
diturunkan oleh Debata Natolu Mulajadi Nabolon kepada si Raja Batak
atau diciptakan oleh manuasia. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada
Catatan Episode :
CERITA DAN SEJARAH SURAT BATAK. )
Salah seorang keturunan Guru Tateabulan adalah
Raja Biakbiak (Raja Miokmiok ),
kelahirannya disertai guruh, hujan lebat dan angin puting beliung,
namun setelah lahir alangka kaget dan kecewanya si Guru Tateabulan dan
istrinya si boru Basoburning, karena yang lahir tidak sempurna sebagai
manusia, tidak punya kaki dan tangan. Dia tidak bisa duduk, hanya bisa
berguling-guling, karena itu Raja Biakbiak dinamai juga Raja
Gumelenggeleng (guling-guling).
Pada suatu waktu, Mulajadi Nabolon Debata Natolu turun ke bumi
(Sianjurmulamula)
dan mencobai iman (haporsean ) Guru Tateabulan. Mulajadi Nabolon
meminta agar Guru Tateabulan menyerahkan anaknya Sariburaja untuk
dipotong dan dipersembahkan.
Guru Tateabulan mengatakan, “
Datangnya dari Tuhan (Mulajadi Nabolon Debata Natolu ), kalau Mulajadi
Nabolon meminta, saya tidak berhak menolak”. Mendengar itu Raja
Biakbiak berpikir bahwa dialah yang akan dipotong/dibunuh, dibandingkan
Sariburaja yang sempurna, dia tidak ada harganya, maka dengan
tergesa-gesa dia meminta kepada ibunya agar menyuruh ayahandanya
menyembunyikan dia. Guru Tateabulanpun menyembunyikan dia di
Gunung/Dolok Pusuk Buhit.
Sariburaja jadi dipotong dan
dipersembahkan, tetapi karena Guru Tateabulan ikhlas dan Sariburaja
tidak menolak menjadi korban persembahan, Mulajadi Nabolon menghidupkan
dia kembali serta memberikan berkat (pasu-pasu).
Mulajadi
Nabolon datang dan pergi selalu dari puncak Dolok Pusuk Buhit, maka
ketika dia mau kembali ke banua ginjang melalui Dolok Pusuk Buhit, dia
melihat Raja Biakbiak ada di situ. Raja Biakbiak memohon kepada
Mulajadi Nabolon agar disempurnakan, Mulajadi Nabolon pun mengabulkan
permohonan Raja Biakbiak, diberi tangan, kaki, bahkan diberi sayap,
ekor dan mulutnya seperti (maaf ) moncong babi. Pada saat itu Mulajadi
Nabolon berkata : “ Walau bentuk tubuhmu tidak sempurna seperti manusia
biasa, tetapi kamu punya keistimewaan, tidak akan pernah tua, tidak
akan mati dan kamu akan menjadi perantara manusia yang akan memberikan
persembahan kepadaku, kuberi kamu gelar
RAJA HATORUSAN atau juga
RAJA UTI.”

Dengan
kemampuannya Raja Biakbiak/Raja Miokmiok/Raja Gumelenggeleng/ Raja
Hatorusan/ Raja Uti dapat pergi kemanapun sesuka hatinya, namun pada
awalnya dia pulang ke Sianjurmulamula, kemudian ke Aceh dan ke bagian
selatan Tapanuli ( Barus ).
Telah disebutkan di atas bahwa Tuan
Sariburaja lahir kembar dampit dengan Siboru Pareme, dikemuadian hari
rasa cinta tumbuh diantara keduanya dan merekapun melakukan
perkawinan incest (sedarah terlarang),
inilah mungkin salah satu peringatan bagi masyarakat Batak sekarang
apabila mempunyai anak yang lahir kembar dampit selalu dipisahkan
pengasuhannya agar tidak terjadi sebagaimana antara Tuan Sariburaja
dengan Siboru Pareme.
Dari perkawinan antara Tuan Sariburaja dengan Siboru Pareme, lahirlah serang anak laki-laki yang kemudian diberi nama
SI RAJA LONTUNG.
Si Raja Lontung lahir di tengah hutan rimba yang belum pernah
didatangi manusia, karena Si Boru Pareme dibuang oleh saudaranya karena
malu dengan perbutannya. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa Si
Raja Lontung adalah keturunan si Borupareme dengan
Babiat Sitelpang
yang selalu datang membawa makanan kepada Si Boru Pareme, karena Si
Boru Pareme menolong mengambilkan tulang yang tersangkut di mulut
harimau itu. Kalau pendapat ini benar, timbul pertanyaan : Mengapa dan
apa penyebab Si Boru Pareme berada di tengah-tengah hutan belantara?
Karena tidak mempunyai alasan yang kuat, maka pendapat lebih cenderung
mengatakan bahwa Si Boru Pareme memang dibuang oleh saudaranya ke hutan
belantara ( tombak longo-longo, harangan rimbun rea parhais-haisan ni
babiat paranggun-anggunan ni homang).
Tuan Sariburaja adalah orang
yang tidak betah berdiam diri di suatu tempat, dia selalu berkelana
dari satu daerah ke daerah lain, dan di daerah baru itu beberapa kali
dia kawin lagi.
Adalah
Nai Mangiringlaut, salah satu istrinya, dikatakan adalah manusia peliharaan lelembut
( homang ), dari perkawinannya dengan Nai Mangiringlaut lahirlah
SI RAJA BORBOR.
Setelah anaknya lahir Tuan Sariburaja membawa mereka ke suatu tempat
di luar Sianjurmula-mula, tempat itu sekarang dikenal dengan
PARIK SABUNGAN.

Sampai saat ini masih ada kontroversi diantara keturunan Tuan Sariburaja, siapa yang lebih dahulu lahir antara
SI RAJA LONTUNG dan SI RAJA BORBOR.
Kalau dalam sejarah dan Tarombo Borbor Marsada, yang lebih duluan lahir
adalah si Raja Borbor yang otomatis menjadi siabangan ( sihahaan),
konon menurut cerita sewaktu Nai Mangiring Laut mengandung, si Boru
Pareme datang menggoda saudaranya Tuan Sariburaja dan terjadilah
hubungan terlarang.
Di lain tempat ( di daerah Barus sekarang ),
Tuan Sariburaja juga mempunyai isteri yang tidak jelas diketahui
asal-usulnya, sebagian mengatakan putri Tamil, sebagian lagi mengatakan
keturunan harimau, dari perkawinannya lahir anaknya laki-laki yang
dinamai
RAJA GALEMAN atau digelari juga dengan
SIBABIAT.
Dari cerita di atas jelaslah bahwa keturunan Tuan Sariburaja ada 3 orang yaitu :
LONTUNG, BORBOR dan SIBABIAT. Dari ketiga orang tersebut, dikemudian hari berkembang marga-marga yang sekarang kita kenal dengan kumpulan marga :
NAIMARATA, BORBOR MARSADA dan LONTUNG MARSADA.
Telah diterangkan di atas, Guru Tateabulan mempunyai 3 orang anak perempuan, selain Si Boru Pareme yang dua lagi adalah
SIBORU ANTING SABUNGAN (Siboru Paromas ) dan
SIBORU BIDING LAUT. Kedua wanita ini kawin dengan
TUAN SORIMANGARAJA anak dari Raja Isumbaon. Isteri Raja Isumbaon sendiri ada 3 orang, satu lagi adalah
SIBORU SANGGUL HAOMASAN yang belum jelas asal usulnya darimana dan anak siapa.
Pada masa itu, keturunan si
RAJA BATAK terbagi atas 2 kelompok, keturunan Guru Tateabulan disebut dengan
ILONTUNGON sedangkan keturunan dari Raja Isumbaon disebut
SUMBA.
Dikemudian hari, dari 2 kelompok tadi berkembang menjadi 5 kelompok yang menjadi
INDUK MARGA-MARGA BATAK
yang ada sekarang, dengan catatan bahwa keturunan dari Raja Asiasi,
Sangkarsomalidang, Toga Laut dan keturunan Sariburaja dari isteri ketiga
yaitu Raja Galeman (Sibabiat) belum termasuk, karena keturunan mereka
tidak jelas keberadaannya dan patut diduga ada di daerah Asahan,
Langkat, Karo, Deliserdang, Binjai dan di Aceh ( Tapak Tuan, Takengon
dan Kutacane).
Salah seorang anak dari Guru Tateabulan ialah
NANTINJO yang dikatakan sebagai
BANCI/WARIA
pertama dalam sejarah dan legenda orang Batak. Orang mengatakan bahwa
dia sebenarnya berjenis kelamin laki-laki tetapi pembawaan dan tingkah
laku layaknya perempuan sebagaimana waria yang kita kenal sekarang. Guru
Tateabulan dan saudara-saudaranya memaksa dia supaya berumah tangga,
pada mulanya Nantinjo masih bisa memberi alasan, tetapi kemudian di
belakang hari dia tidak bisa lagi mengelak anjuran dan paksaan orang
tuanya. Dia masih berusaha untuk menolak dengan meminta
“sinamot”
sebanyak satu perahu penuh emas, dengan harapan tidak ada yang sanggup
memberikannya, ternyata dia keliru. Ada saja orang yang dating melamar
dia dengan “sinamot” sebanyak yang dia minta, Nantinjo tidak bisa
mengelak, diapun dibawa oleh
“suaminya” menyeberangi danau ke tempat mertuanya. Di perjalanan, Nantinjo berpikir bahwa sesampai di tempat mertuanya
“dunia”
akan geger apabila masyarakat mengetahui cacatnya. Maka dengan putus
asa, dia berdoa (martonggo) ke Boru Saniangnaga dan Mulajadi Nabolon
Debata Natolu :
“ O ale ompung Mulajadi Nabolon, Debata
Natolu na di Banua Ginjang dohot ho Boru Saniangnaga pangisi ni Banua
Toru, ompuompu ni hunik nama au tinuhor sian onan, dang bulung
ni dulang dang bulung ni rias, ompu ni hinalungun soada tudosan,
napaila damang molo tarboto tihas, tagonanma langge padopado sikkoru,
tumagonan ma mate daripada mangolu, buatton ma au begu luahon au sombaon
ai sudena on soboi be hutaon. “ Setelah berkata demikian, Nantinjo melompat ke tengah danau dan tenggelam.
Pada
saat berangkat dari Sianjurmulamula, dia dibekali dengan alat tenunnya
yang selalu dia pakai semasa “gadisnya” bersama “buluhot”
(pangunggasan yang terbuat dari bambu), setelah Nantinjo tenggelam,
semua peralatan itu mengapung sehingga orang yang menemukan mayat
Nantinjo juga menemukan semua peralatan tenun tersebut dan membawanya ke
darat. Nantinjo dimakamkan di Malau bersama semua peralatannya,
dikemudian hari dari makamnya “buluhot” tersebut tumbuh bambu besar
(bulu godang ) yang ada sampai saat ini di Tiga Malau dekat Simanindo,
dan tempat tersebut sampai sekarang dianggap sebagai tempat keramat.
Telah diterangkan di atas bahwa Raja Isumbaon ada 3 orang yaitu : Tuan Sorimangaraja, Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang.
Tuan
Sorimangaraja mempunyai 3 orang isteri, 2 orang diantaranya adalah
putrid Guru Tateabulan yaitu Siboru Anting Haomasan ( Siboru Paromas )
dan Siboru Biding Laut. (Kalau jaman kekinian tentunya itu terlarang,
karena dia mengambil isteri dari putrid Bapatuanya, tetapi pada masa
itu karena memang penduduk disekitar danau Toba masih sangat jarang,
hal tersebut adalah lumrah).
Dari isteri pertama Tuan Sorimangaraja dia mempunyai anak yang dinamai si
AMBATON dan dari dari isteri kedua juga seorang, dinamai si
RASAON.
Dari
isteri ketiga yang tidak diketahui dari mana asal-usulnya yang bernama
Siboru Sanggul Haomasan, Tuan Sorimangaraja mempunyai anak dan diberi
nama si
SUANON.
Ketiga isterinya dengan panggilan
nama anaknya lebih terkenal daripada Tuan Sorimangaraja sendiri, hal
ini terjadi karena Tuan Sorimangaraja adalah orang tidak betah berdiam
diri, dia berkelana dari satu daerah ke daerah lain sambil memberikan
pengobatan kepada orang-orang yang memerlukan kepintarannya.
Isteri
ke 3 Tuan Sorimangaraja yaitu Siboru Sanggul Haomasan lebih duluan
melahirkan daripada isteri ke 2 ( Siboru Biding Laut ), karena itu
Siboru Biding Laut selalu bermuram durja dan selalu “mangandung”. Dalam
“andungnya” sering sekali keluar kata-kata penyesalan, kata-kata putus
asa, karena pada masa itu seorang wanita yang sudah kawin belum
dianggap sebagai perempuan apabila belum melahirkan keturunan untuk
menyambung tali kehidupannya. Kendati sudah lama kawin, Mulajadi Nabolon
Debata Natolu belum memberikan Siboru Biding Laut keturunan untuk
membuktikan dia sebagai perempuan yang sempurna. Tentunya sekarang
pikiran seperti itu sudah bukan zamannya lagi, tidak mempunyai keturunan
tidak semata-mata karena kekurangan isteri, bisa juga si suami,
kendati demikian masih ada juga orang, khususnya orang Batak yang masih
menganut pemikiran manusia zaman dulu, dan itu dijadikan pembenaran
untuk berpoligami.
Demikianlah Siboru Biding Laut, setiap hari
sebelum matahari terbit, dia sudah pergi ke pinggir danau, siang hari
bernaung di bawah pohon besar “beringin na mardangka tu langit”, di
malam hari selalu menyendiri “songon tandiang na hapuloan”. Tidak
pernah terlihat ceria di wajah Siboru Biding Laut.
( Khusus Perkawinan antara Tuan Sorimangaraja dengan Siboru Biding Laut akan dibahas lebih lanjut pada Episode
SEJARAH DAN LEGENDA MARGA-MARGA KELOMPOK NAIRASAON. )
Sebagaimana
diceritakan bahwa Siboru Biding Laut lama tidak diberikan
keturunannya, dalam keputus asaannya di menceburkan diri ke danau,
tetapi dia tidak tenggelam. Tubuhnya terombang ambing di danau kian
kemari, dipermainkan ombak seperti nasib yang mempermain-mainkan
kehidupannya. Entah berapa lama dia terobang-ambing sampai akhirnya
terdapar di daratan, begitu sadar dia memandang nanar ke kejauhan, ke
arah Dolok Pusuk Buhit.
Ternayata Tuan Sorimangaraja sedang
mencarinya di sekitar Sianjurmulamula, karena tidak ketemu, diapun
menyeberangi danau sambil “martonggo” agar Mulajadi Nabolon
menyelamatkan “persinondukna” Siboru Biding Laut.
Doanya
terkabul, diseberang danau dia menemukan Siboru Biding Laut dalam
kebingungannya, dia membawa isterinya kea rah “habinsaran”. Disuatu
tempat yang dirinya subur, Tuan Sorimangaraja mendirikan (mamukka)
pemukiman bagi mereka.
Tetapi memang dasarnya Tuan Sorimangaraja
yang tidak pernah bisa berdiam diri, diapun meninggalkan perkampungan
mereka, berkelana entah kemana.
Anak Tuan Sorimangaraja, si
Ambaton dan si Suanon tumbuh berkembang tanpa pengasuhan ayahnya,
demikian juga dengan si Rasaon yang kemudian dilahirkan dari rahim
Siboru Biding Laut (dalam Episode
SEJARAH DAN LEGENDA MARGA-MARGA KELOMPOK NAIRASAON)
Mereka tumbuh jadi pemuda yang mandiri. Karena Tuan Sorimangaraja
sangat jarang bertemu dengan mereka, demikian juga dengan orang-orang
yang ada di sekeliling tempat mereka tinggal, maka ketika ada yang
bertanya siapa pemuda-pemuda yang gagah tersebut, maka yang lain selalu
menjawab : anaknya Nai Ambaton untuk si
AMBATON, anaknya Nai Suanon untuk si
SUANON, anaknya Nai Rasaon untuk si
RASAON.
Bermula
dari panggilan-panggilan tersebut, akhirnya orang lain lebih mengenal
mereka dan keturunannya kemudian dengan sebutan NAIAMBATON, NAIRASAON
dan NAISUANON. Keturunan mereka menjadi kelompok marga-marga di
kemudian hari. Dengan demikian maka kelompok marga-marga Batak menjadi 5
induk, yaitu :
1. Kelompok
LONTUNG, untuk keturunan si Raja Lontung anak Sariburaja dengan Siboru Pareme;
2. Kelompok
BORBOR,
untuk keturunan Limbong Mulana, Sagala Raja, Silau Raja ( Malau Raja )
dan si Raja Borbor anak Sariburaja dengan Nai Mangiring Laut, sekarang
ini sering disebut dengan
BORBOR MARSADA.
3. Kelompok
NAIAMBATON,
untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri pertama Siboru
Anting Sabungan ( Siboru Paromas ), sekarang ini sering disebut dengan
PARNA ( Parsadaan Naiambaton/ Pomparan Naiambaton).
4. Kelompok
NAIRASAON, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri kedua
SIBORU BIDING LAUT, yang adalah adik kandung si Boru Paromas.
5. Kelompok
NAISUANON, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri ketiga
SIBORU SANGGUL HAOMASAN.
Dari
5 kelompok marga-marga tersebutlah penyebaran marga-marga yang kita
kenal sekarang ini, tetapi dengan pertanyaan : Bagaimana dengan
keturunan
RAJA ASIASI dan
SANGKARSOMALIDANG?
Menurut cerita, kedua anak Raja Isumbaon tersebut pergi ke arah Dairi
dan ke kaki Gunung Sibayak (Karo), dan dari keturunan merekalah
marga-marga yang ada sekarang di daerah itu.
Pada cerita berikut,
tidak semua marga-marga akan diterangkan, dan kebenaran dari
cerita-cerita itu kembali kepada masing-masing marga, karena pada
dasarnya Legenda adalah cerita rekaan (khayalan) yang bisa benar bisa
tidak, tetapi paling tidak cerita tersebut pernah beredar di
tengah-tengah masyarakat.
Salah satu yang sangat penting menjadi pijakan dalam mengikuti cerita Legenda adalah :
TIDAK LEBIH DAHULU APRIORI/KONTRA
apabila cerita tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita tau atau
pernah kita dengar. Penolakan terhadap legenda akan menbuat kita tidak
akan dapat mendalami dan memahami nilai-nilai yang tersembunyi pada
cerita tersebut.
Perlu juga disepakati, bahwa penulisan
cerita/legenda ini bukan untuk mengurangi keimanan seseorang dan bukan
pula mengajak pembaca untuk kembali ke “hasipelebegu on “ karena
nilai-nilai pada cerita/legenda Batak adalah filsafat, berbeda dengan
nilai-nilai religi.
KELOMPOK MARGA KETURUNAN SI RAJA LONTUNG.
Konon,
si Raja Lontung sepeninggal ayahandanya berpetualang, hidup berdua
dengan ibunya Siboru Pareme ditengah hutan. Ketika sudah makin dewasa,
Siboru Pareme menuruh anaknya untuk berumah tangga dan pergi ke rumah
tulangnya ke Sianjurmulamula, dia berpesan agar mencari paribannya
untuk dijadikan isteri yang wajah mirip dengan wajah ibunya.
Si
Raja Lontung pun mengerti pesan ibunya, diapun beranhkat menuju
Sianjurmulamula sebagaimana dipesankan karena disanalah tempat tinggal
tulangnya. Namun di tengah jalan dia bertemu dengan seorang wanita yang
benar-benarpinang dibelah dua dengan ibunya Siboru Pareme. Dia pun
berpikir bahwa wanita inilah paribannya yang diceritakan ibunya, maka
dengan sangat antusias diapun menyampaikan maksud dan tujuannya (tembak
langsung). Si wanita sama sekali tidak memberikan penolakan, karena
memang dia adalah Siboru Pareme yang tak lain ibu dari si Raja Lontung.
Dia telah merencanakan semua itu, ketika si Raja Lontung pergi seperti
yang dia minta untuk menemui tulangnya di Sianjurmulamula, Siboru
Pareme mengambil jalan pintas mendahului si Raja Lontung ke suatu
tempat yang pasti harus dilalui si Raja Lontung.
Setelah
melakukan hubungan terlarang dengan “ito”nya Tuan Sariburaja, sekarang
hubungan terlarang (incest) dilakukan dengan anaknya sendiri ( Hampir
sama dengan cerita Sangkuriang di daerah Parahyangan ).
Raja
Lontung mempunyai 7 anak laki-laki dan 2 anak perempuan dari
perkawinannya dengan Siboru Pareme yang kemuadian menjadi marga sampai
sekarang, yaitu :
1.Toga Sinaga
2.Toga Situmorang
3.Toga Pandiangan
4.Toga Nainggolan
5.Toga Simatupang
6.Toga Aritonang
7.Toga Siregar
Sedangkan ke 2 putrinya
Si Boru Anak Pandan kawin dengan
Sihombing dan
Siboru Panggabean kawin dengan
Simamora, keduanya adalah anak
Toga Sumba ( cucu dari Tuan Sorbadibanua/ si Suanon).
Sampai
sekarang masih ada perbedaan pendapat tentang anak tertua si Raja
Lontung, apakah Toga Sinaga atau Toga Situmorang. Sebagian orang
mengatakan bahwa Toga Sinagalah yang tertua, tetapi Toga Situmorang
lebih duluan kawin dengan boru Limbong, sedangkan Toga Sinaga belum
juga. Karena belum mendapat wanita untuk isterinya, Sinaga berkata
kepada Situmorang supaya dicomblangi (dipadomu-domu) dengan adik
isterinya. Situmorang berkata, bisa saja asal kau memanggil abang kepada
saya, Sinaga pun setuju. Jadilah Sinaga kawin dengan adik isteri (adik
ipar) Situmorang, dan oleh karena itulah antara Sinaga dan Situmorang
saling memanggil abang pada acara-acara tertentu. Sinaga menjadi abang
dari Situmorang karena lebih duluan lahir (anak tertua) dari si Raja
Lontung, lazim juga disebut sebagai
“ haha partubu”, sedangkan Situmorang menjadi abang karena isteri Sinaga adalah adik dari isterinya, lazim juga disebut sebagai
“ haha ni parrajaon” karena menjadi si abangan pada acara adat
“hula-hula mereka marga Limbong”.
Seperti
sudah pernah disebutkan sebelumnya, marga pertama dalam masyarakat
Batak adalah Limbong dan Sagala. Kalau dalam penyusunan
Tarombo/Silsilah si Raja Batak ditempatkan pada generasi Pertama (I ),
maka marga Limbong dan Sagala ada pada generasi III dan Malau (anak
Silau Raja ) pada generasi ke IV. Tuan Sariburaja adalah adik dari
Limbong sama-sama generasi III, maka si Raja Lontung adalah generasi ke
IV.
Anak –anak si Raja Lontung yang sudah menjadi marga sampai
saat ini adalah generasi V. Dengan demikian marga-marga pada kelompok
marga Ilontungan dimulai pada generasi ke V.
KELOMPOK MARGA KETURUNAN SI RAJA BORBOR.
Si
Raja Borbor sama halnya dengan si Raja Lontung adalah generasi ke IV.
Si Raja Borbor kawin dengan putrid Jau. Putri Jau yang dimaksud disini
bulanlah si Jau yang menjadi pewaris marga-marga di Nias, tetapi karena
tidak diketahui darimana asal usulnya. (sekali lagi membuktikan bahwa
pada saat itu sudah ada manusia lain selain keturunan si Raja Batak ).
Banyak
versi yang menjelaskan keturunan si Raja Borbor, tetapi dalam konteks
ini tidak akan dibahas perbedaan=perbedaan tersebut, karena pada
dasarnya perbedaan-perbedaan itu telah menjadikan keturunan si Raja
Borbor makin kuat ikatan persaudaraannya dalam
IKATAN BORBOR MARSADA.
Anak dari si Raja Borbor sebagaimana yang diakui dalam Ikatan Borbor Marsada (masuk pada generasi ke V ) adalah :
1. Raja Hatorusan
2. Tuan Sidamanik
3. Datu Singar Harahap
4. Parapat
5. Matondang
6. Sipahutar
7. Sitarihoran
8. Gurning
9. Rambe
10. Sarusuk
Kendati
pada generasi ke V sudah menjadi Marga yang ada sekarang, tetapi ada
juga marga pada saat itu menurunkan marga yang lebih muda pada generasi
VI, VII dan seterusnya sampai generasi XIV, contohnya marga
HUTASUHUT yang merupakan keturunan dari marga
HARAHAP adalah genarasi XIV dari si Raja Batak.
Sampai
dengan saat ini, marga-marga yang tergabung dalam Ikatan Borbor
Marsada tetap terjalin persaudaraan yang erat, baik di bonapasogit
maupun di parserahan, mereka menganut istilah “sijolojolo tubu” yaitu :
si sada lulu anak si sada lulu boru.
Ke dalam kelompok Ikatan Borbor Marsada ini termasuk juga keturunan dari
LIMBONG MULANA, SAGALA RAJA, SILAU RAJA (MALAU RAJA ).
KELOMPOK MARGA KETURUNAN NAI AMBATON.
Sumber marga-marga yang tergabung dalam Nai Ambaton
( Parna )
ada beberapa versi, ada yang mengatakan bahwa anak Nai Ambaton yaitu
Tuan Sorbadijulu mempunyai satu anak yaitu Suliraja, ada pula yang
mengatakan bahwa anak Tuan Sorbadijulu mempunyai 5 orang anak, dan ada
pula yang mengatakan 4 anak laki-laki dan 1 perempuan.
Versi yang
mengatakan 5 orang menggabungkan Sinahampang sebagai anak langsung dari
Tuan Sorbadijulu, sedangkan versi lain mengatakan, Sinahampang adalah
anak dari Simbolon Tua.
Kebenaran versi yang dipakai oleh pihak
Parna biarlah mereka yang lebih mengetahui, jangan menjadi perdebatan
yang tidak berarti, tetapi penulis disini mengetengahkan versi yang
mengatakan bahwa anak Tuan Sorbadijulu adalah 4 dan 1 perempuan.
Pada
kelompok marga Parna, pemakaian marga yang ada sekarang ini dimulai
dari generasi ke V dari si Raja Batak, yaitu marga Simbolon, Tamba,
Saragi dan Munte.
Dari ke 5 marga di atas melahirkan marga-marga
baru hingga sekarang ini, yang merupakan marga paling banyak dalam satu
kelompok marga dan masih teguh menganut paham “sisada lulu anak sesada
lulu boru”, artinya belum ada sesama marga dalam kelompok marga Parna
yang sudah saling mengawini.
Anak perempuan
Tuan Sorbadijulu adalah siboru
Pinta Haomasan, diperkirakan inilah yang menjadi istri pertama dari
Silahisabungan yang melahirkan Silahiraja.
Dari keturunan
Simbolon Tua yang sudah menjadi marga ( Simbolon ) lahir marga-marga baru yaitu : Tinambunan, Tumanggor, Maha, Pinayungan, dan Nahampun.
Dari keturunan
Tamba Tua
yang sudah menjadi marga ( Tamba ) lahir marga-marga baru yaitu:
Siallagan, Rumahorbo, Napitu. Dari salah seorang buyut Tamba Tua dari
cicitnya Datu Parngongo adalah Guru Sojoloan atau juga sering disebut
Guru Sitindion, dari sini melahirkan marga-marga baru yang sekarang ini
lebih sering disebut
Siopat Ama, yaitu marga : Sidabutar, Sijabat, Siadari dan Sidabalok.
Dari keturunan
Saragi Tua
yang sudah menjadi marga (Saragi) lahir marga-marga baru yaitu :
Simalango, Saing, Simarmata, Nadeak, Sidabungke juga marga-marga yang
ada di Dairi/Phakpak dan Karo seperti : Basirun, Bolahan, Akarbejadi,
Kaban, Jurung dan Telun.
Dari Saragi Tua ini juga yang menjadi
marga-marga klan Parna yang ada di Simalungun seperti Saragih Sumbayak,
Saragih Garingging, Saragih Turnip, Saragih Dajawak, Saragih Dasalak.
Kesemuanya itu, tempat leluhir mereka adalah dari Toba ( Samosir).
Percabangan-percabangan marga ini berkembang juga sampai ke tanah Karo.
Dari keturunan
Munthe Tua
yang sudah menjadi marga ( Munthe ) lahir pula marga-marga baru yaitu :
Sitanggang, Sigalingging, Manihuruk, Sidauruk, Turnip dan Sitio.
Tetapi ada pula dari keturunan Munthe Tua yang lain melahirkan
marga-marga baru yang ada di Simalungun, Karo, Dairi/Phakphak, seperti
Ginting Munthe, Dali Munthe, Tendang, Banuarea, Beringin, Gaja dan
Berasa.
Sampai saat ini, apabila orang berkenalan dan sama-sama
merupakan keturunan dari Nai Ambaton ( Parna ), mereka akan merasa
seperti saudara sendiri, dan tetap menganut paham Batak
“ Sisada lulu anak sisada lulu boru”.
Dari
sekian banyak jumlah marga Batak ( Toba, Karo, Simalungun, Mandailing,
Dairi/Phakphak), boleh dikatakan 20% masuk dalam klan Nai Ambaton (
Parna ). Pernah dulu ada anekdot kalau ada laki-laki dan perempuan yang
sudah tua dan belum kawin disebut….. “sai songon Nai Ambaton “,
artinya saking banyaknya marga-marga yang tidak boleh saling kawin yang
masuk dalam kelompok Nai Ambaton, para anak – borunya sulit mendapat
jodoh, sampai tua belum kawin sehingga yang lambat kawin diibaratkan
dengan Nai Ambaton.
Kalau kita amati dalam tarombo-tarombo Batak,
maka permulaan marga yang tergabung dalam kelompok Nai Ambaton ( Parna )
dimulai pada generasi ke V hingga generasi ke XII dari si Raja Batak.
Jadi masih ada yang termasuk marga-marga muda.
Banyak legenda dan cerita yang terjadi pada sejarah Parna sampai sekarang, antara lain Legenda
Tabu-tabu Gumbang, siboru Sileang Nagarusta, Marhati Ulubalang, Raja Sidabutar yang terkenal sampai sekarang dengan makamnya, maupun
Sibatu Gantung di Sibaganding Parapat.
KELOMPOK MARGA KETURUNAN NAI SUANON.
Nai Suanon semasa gadisnya bernama
Siboru Sanggul Haomasan, adalah istri ketiga Tuan Sorimangaraja yang melahirkan si Suanon. Setelah dewasa, si Suanon digelari Tuan Sorbadibanua.
Sama
halnya dengan Siboru Biding Laut istri kedua Tuan Sorimangaraja,
Siboru Sanggul Haomasan juga sulit mendapat keturunan. Disuatu waktu,
Siboru Sanggul Haomasan berjalan-jalan ditepi hutan, bertemu dengan
seorang wanita tua yang tidak tau darimana datangnya. Ketika si wanita
tua bertanya kepada Siboru Sanggul Haomasan, dia tidak bisa menjawab
dengan tepat pertanyaan itu, lalu kata si wanita tua :
“ Tardok
do ho boru ni raja namalo jala na bisuk, alai tung sungkun-sungkun hi
dang taralusi ho onpe ingkon bernitdo parniahapanmu paima-ima tunas ni
siubeonmu”. ( Kau termasuk putri raja yang pintar dan bijaksana,
tetapi pertanyaanku tak dapat kau jawab, jadi ingatlah akan susah engkau
mendapatkan keturunan.)
Setelah berbagai usaha,
martonggo (berdoa) kepada Mulajadi Nabolon, akhirnya datanglah pesan
kepada Tuan Sorimangaraja bahwa dia akan memperoleh keturunan dari
Siboru Sanggul Haomasan apabila dapat menemukan semua persyaratan yang
disampaikan Mulajadi Nabolon melalui Borusibasopaet, adapaun syarat
yang harus ditemukan Tuan Sorimangaraja adalah :
1. Sebatang kayu besar yang dapat mendirikan sebuah rumah, kayu itu ditemukan di Daerah Angkola (Tapanuli Selatan sekarang ).
2. Hati besi untuk ditempa jadi pisau sakti, dapat ditemukan di sungai Buarbuar dekat Barus ( Tapanuli Tengah sekarang).
3. Kerbau sitikko (melingkar) tanduk, si opat pusoran, sijambe ihur sebagai persembahan kepada Mulajadi Nabolon.
Setelah
terpenuhi, diadakanlah upacara martonggo, diiringi bunyi Gondang
Sabangunan. Tuan Sorimangaraja dan istrinya Siboru Sanggul Haomasan
didaulat untuk menari. Persembahan dan doa Tuan Sorimangaraja diterima
Mulajadi Nabolon. Tiba waktunya, istrinya Siboru Sanggul Haomasan
melahirkan seorang anak yang dinamai si
Suanon ( Tuan Sorbadibanua).
Tuan Sorbadibanua setelah kawin mendiami (tinggal ) di
Lumban Gorat (dekat daerah Balige sekarang ), sedangkan saudaranya yang lain yaitu
Tuan Sorbadijulu tinggal di
Pangururan (Samosir) dan
Tuan Sorbadijae tinggal di
Sibisa (Uluan).
Si Suanon atau Tuan Sorbadibanua kawin dengan
Nai Anting Malela tetapi lama tidak punya anak. Menurut
“datu” dia akan beroleh anak apabila, Nai Anting Malela akan memperoleh keturunan apabila
“marimbang matua” ( bermadu ).
Mendengar itu, suka tidak suka Nai Anting Malela mengijinkan Tuan
Sorbadibanua untuk kawin lagi. Masalahnya, perempuan yang akan dinikahi
yang sulit di dapat. Saking gusarnya, Tuan Sorbadibanua meminta ijin
untuk berburu di hutan untuk melupakan segala
“parsorion”
yang dialaminya. Dalam perburuannya, tak satupun binatang buruan yang
didapat, akhirnya dia tertidur di bawah sebatang pohon besar. Dalam
tidurnya, diantara sadar dan mimpi dia didatangi sesosok wanita cantik
namun ketika tersadar, tak ada bekasnya, bayangannyapun tidak, namun
lapat-lapat terdengar olenya suara yang berkata :
Percikkanlah
ramuan obat yang kamu bawa ke kiri dan ke kanan masing-masing sebanyak
7 kali lalu melangkahlah engkau kea rah kanan. Tuan
Sorbadibanua menuruti perintah suara tersebut, entah darimana datangnya
tiba-tiba terlihat olehnya seorang wanita berparas ayu, merekapun
bertegur sapa dan berkenalan, perempuan itu bernama
BORU SIBASOPAET. Tuan Sorbadibanua pun membawa perempuan itu ke kampungnya untuk dijadikan madu Nai Anting Malela.
Mengenai istri kedua Tuan Sorbadibanua ini menurut legenda adalah manusia hutan yang tidak punya saudara (
mapultak sian batu madabu sian langit
). Dia menerima pinangan Tuan Sorbadibanua dengan syarat jagan
sekali-kali menyebut dia putrid dari hutan belantara yang tidak punya
“hula-hula” yang tidak punya saudara. Syarat tersebut disetujui Tuan
Sorbadibanua.
Legenda lain mengatakan, Boru Basopaet adalah
manusia biasa yang tersesat di hutan ketika terpisah dari rombongannya.
Mereka berasal dari tanah
Jau ( Jawa ) bersama rombongan pasukan
Majapahit yang dipimpin oleh
Raden Wijaya datang ke pinggiran danau Toba di dekat Balige sekarang, Boru Basopaet sendiri adalah adik perempuan Raden Wijaya.
Kedatangan
pasukan Majapahit ke Pulau Morsa ( Andalas/Sumatera ) adalah dalam
rangka memperluas wilayah kerajaan. Mereka sampai di tepian danau Toba
setelah menaklukkan kerajaan Sriwijaya di Palembang, kerajaan
Batanghari di Jambi sekarang, Kerajaan Portibi dan Muara Takus di
perbatasan Tapanuli Selatan, Jambi dan Sumatera Barat sekarang.
Di
daerah yang ditaklukkan tersebut, pasukan Majapahit mendirikan candi
sebagai pertanda mereka pernah menguasai wilayah itu, antara lain Candi
Portibi dan Candi Muara Takus. Sampai sekarang kedua candi tersebut
masih ada walau kurang terawat.
Setelah perkawinan Tuan
Sorbadibanua dengan Boru Basopaet, mereka mencari-cari rombongan dari
Kerajaan Mojopahit, merekapun bertemu. Mengetahui adeknya telah kawin
dengan Tuan Sorbadibanua, Raden Wijayapun menjalin hubungan
persaudaraan dengan Tuan Sorbadibanua. Mereka menjadi teman akrab.
Pada
setiap wilayah yang ditaklukkan oleh pasukan Mojopahit, mereka membawa
para pemuda yang ada, dipilih yang gagah berani dan dijadikan pasukan
kerajaan.
Pada suatu kesempatan, Raden Wijaya berbincang-bincang
dengan “laenya” Tuan Sorbadibanua, dia berkeinginan mencari pemuda
gagah berani untuk dijadikan prajurit perwira. Tuan Sorbadibanua
mengajukan salah seorang
ponakannya ( berenya) yang bernama
si GAJA
untuk dilatih menjadi prajurit. Dia seorang yang tampan gagah, tubuhnya
besar tapi sangat nakal, ada-ada saja ulahnya yang membuat orang lain
selalu menghindar kalau bertemu dengannya, tak ada yang berani melawan
karena disamping tubuhnya yang besar dia juga memiliki kesaktian.
Ketika ditawarkan kepadanya, dengan sangat sukacita dia menerima, maka
berangkatlah dia bersama pasukan Majapahit yang pulang ke Jayadwipa.
Di
kerajaan Majapahit, si Gaja dapat menempatkan diri, dia berlatih
dengan tekut dan bersemangat. Karena dasarnya dia sudah memiliki
kesaktian, maka “Diklat” prajurit yang diikutinya berjalan lancer, malah
dikesempatan-kesempatan tertentu dialah yang menjadi pelatih para
prajurit yang lain.
Si Gaja menjadi prajurit yang disegani
ditengah-tengah pasukan kerajaan. Bersama si Gaja banyak juga
pemuda-pemuda gagah dari Pulau Morsa (Sumatera) yang dibawa Raden
Wijaya untuk dijadikan prajurit kerajaan, karena sudah kenal sejak
semula dengan si Gaja, mereka sering latihan bersama, berperang
bersama.
Sudah disebutkan di atas, si Gaja ini orang yang suka
usil dan nakal, kendati sudah berada di kerajaan Majapahit keusilan dia
tidak berkurang, malah dengan tambahan ilmu yang didapatnya bertambah
juga kenakalan-kenakalannya, namun sering juga dia lebih duluan
bertanya kepada teman-temannya yang berasal dari Sumatra apa yang akan
mereka lakukan. Teman-temannya berkata :
GAJAIMADA ISI.
Artinya: perbuatlah sesukamu disitu. Orang-orang atau prajurit yang
berasal dari wilayah lain yang mendengar pembicaraan mereka berpikir
bahwa sebutan itu ditujukan sebagai panggilan kepada si Gaja yang mereka
kenal gagah berani sehingga berkesimpulan bahwa nama prajurit perwira
ini adalah :
GAJAMADA.
Sejak itu Gajamada itu menjadi panggilan resminya.
Ada
juga cerita lain yang menyebutkan bahwa si Gaja kawin dengan gadis
dari Pulau Dewata ketika pasukan Majapahit menaklukkan salah satu
kerajaan di pulau itu. Perempuan itu bernama si
MADE, dan dari perkawinan mereka memperoleh anak yang biberi nama
GAJAMADE,
yaitu perpaduan antara nama si Gaja dan si Made karena mereka berasal
dari pulau yang berbeda, dan lama kelamaan GAJAMADE berubah panggilan
menjadi
GAJAMADA.
Manapun yang benar dari legenda
tersebut tetapi tetap mengaikan bahwa Gajamada masih mempunyai darah
Batak. (Kata Legenda dan cerita).
Anting Malela akhirnya hidup
bermadu dengan Boru Sibasopaet, hanya dengan demikian impian hatinya
memperoleh keturunan dapat tercapai sebagimana petunjuk Mulajadi
Nabolon.
Dari perkawinan Tuan Sorbadibanua dengan Anting Malela lahir 5 orang anak mereka yaitu :
1. Sibagot Nipohan,
2. Sipaettua,
3. Silahisabungan,
4. Siraja Oloan,
5. Siraja Hutalima.
Perkawinan
Tuan Sorbadibanua dengan Boru Sibasopaet juga melahirkan anak, tetapi
lahirnya anak tersebut ditandai dengan hal-hal yang tidak logika.
Pertama
keluar dari rahim Boru Sibasopaet segumpal daging, tidak ada bentuk,
si Boru Basopaet sangat sedih dan menangis karena yang dilahirkan bukan
bentuk manusia, disamping itu akan timbul perasaan malu apabila orang
lain mengetahuinya. Untuk menutupi kejadian tersebut dia menyembunyikan
gumpalan daging tadi di tumpukan sekam padi (
sobuon).
Demikianlah, si Boru Sibasopaet berlaku biasa sekan tidak terjadi
apa-apa, tetapi hatinya luluh lantak bila teringat kejadian yang
menimpanya. Dalam kesedihannya dia selalu mengasingkan diri di tepi
hutan dan menangis disana. Suatu ketika, terdengar olehnya suara
disela-sela suara suitan burung elang yang terbang melayang-layang di
atas kampong mereka. Dengan kesaktiannya, hanya si Boru Sibasopaet yang
dapat mengerti suara tersebut. Suara tersebut berkata bahwa pada
waktunya gumpalan daging yang dia sembunyikan akan pecah, dari dalamnya
akan keluar bayi mungil dan agar dinamai sesuai dengan tempat dia
disembunyikan.
Benarlah kata suara tersebut, gumpalan daging
itupun pecah dan dari dalamnya keluarlah seorang bayi mungil berparas
tampan, tangisannya membahana memenuhi rumah mereka. Sesuai pesan yang
didengar dan disampaikan kepadanya, si Boru Sibasopaet memberi nama
kepada orok tersebut seperti nama tempat di disembunyikan yaitu :
SOBU, karena dia disembunyikan di tumpukan SOBUON.
Kelahiran
kedua juga demikian, hanya berupa gumpalan daging yang tidak
berbentuk. Si Boru Sibasopaet menyembunyikan gumpalan daging itu
diantara tumpukan kayu bakar (
soban, sumban ). Setelah gumpalan daging tadi pecah keluar pula bayi mungil yang kemudian diberi nama sesuai tempatnya disembunyikan :
SUMBA, karena disembunyikan di tumpukan sumban.
Anak ketiga juga demikian halnya, lahir hanya berbentuk gumpalan daging, si Boru Sibasopaet menyembunyilan di salean yang sudah
hitam pekat (naipos-iposon), setelah pecah dan keluar bayi mungil kepadanya diberikan nama sesuai tempat dia disembunyikan :
NAIPOSPOS.
Dengan
demikian maka anak Tuan Sorbadibanua ada 8 orang, lima orang dari
isteri pertama Nai Anting Malela dan 3 orang dari Boru Sibasopaet. Anak
Tuan Sorbadibanua ini termasuk pada generasi ke V dari si Raja Batak.
Pada generasi ini nama anak Tuan Sorbadibanua yang menjadi marga sampai
sekarang adalah
POHAN dan
NAIPOSPOS.
Dari anak-anak Tuan Sorbadibanua terlahir marga-marga yang sangat banyak dan terkenal sampai sekarang, masing-masing dari :
SIBAGOT NIPOHAN : disamping marga
POHAN, keturunannya melahirkan marga-marga baru, anak pertama Tuan Sihubil melahirkan marga:
TAMPUBOLON. Anak kedua Tuan Somanimbil melahirkan marga :
SIAHAAN, SIMANJUNTAK, HUTAGAOL. Anak ketiga Tuan Dibangarna melahirkan marga :
PANJAITAN, SILITONGA, SIAGIAN, SIANIPAR. Dan anak keempat Sonak Malela melahirkan marga :
SIMAGUNSONG, MARPAUNG, NAPITUPULU dan PARDEDE.
SIPAETTUA : anak Sipaettua ada tiga orang, dari anak pertama
PANGULU PONGGOK lahir marga :
HUTAHAEAN, ARUAN dan HUTAJULU. Dari anak kedua :
PARTANO, lahir marga-marga :
SIBARANI, SIBUEA dan SARUMPAET. Dari anak ketiga :
PARDUNGDANG lahir marga-marga :
PANGARIBUAN dan HUTAPEA.